Blitar, beritaantara2.online
Kebijakan Walikota Blitar dalam menerapkan program car free day (CFD) menuai polemik di kalangan masyarakat. Meski bertujuan mengurangi polusi dan mendorong gaya hidup sehat, namun pelaksanaannya dinilai meresahkan, terutama bagi pedagang kecil dan pengguna jalan yang memiliki kepentingan penting di hari Minggu pagi.
Salah satu titik utama keresahan terjadi karena penutupan total jalan protokol Kota Blitar, yang menghalangi akses warga menuju pasar tradisional. Akibatnya, sejumlah pedagang kecil yang biasanya mengais rejeki di hari Minggu mengeluh karena akses mereka ke pasar terhambat.
“Saya buru-buru ke pasar, malah jalanan ditutup total. Mbok ya dikasih jalan terabasan, agar tidak muter-muter,” keluh Katemi, seorang pedagang sayur yang hendak menuju Pasar Templek.
Penutupan jalan juga menimbulkan keributan antara petugas Dinas Perhubungan (Dishub) dengan pengguna jalan. Wito, warga Kelurahan Sananwetan, terlibat adu mulut dengan petugas karena merasa diperlakukan tidak adil.
“Motor depan saya boleh lewat, tapi saya harus muter-muter padahal cuma mau antar istri ke pasar,” ujar Wito dengan nada kesal.
Menanggapi hal itu, petugas Dishub yang berjaga di selatan BNI menjelaskan bahwa mereka hanya menjalankan tugas sesuai instruksi.
“Maaf pak, ini car free day. Tidak boleh lewat, saya jalankan tugas dari pimpinan,” ucap petugas tersebut kepada Wito.
Situasi semakin pelik karena tidak semua jalur alternatif memadai. Dari arah timur, misalnya, penutupan di depan BRI membuat masyarakat harus memutar jauh lewat sisi barat Alun-alun Kota Blitar hanya untuk bisa mencapai pasar.
Ketua Komisi 3 DPRD Kota Blitar, Yudi Mahera, saat dikonfirmasi Memo, memberikan tanggapan singkat. Ia mengesankan bahwa tidak ada koordinasi antara Dishub dan DPRD dalam implementasi program tersebut.
"Itu programnya Mas Wali dengan Dishub," ujarnya singkat.
Program car free day juga disorot oleh pemerhati kebijakan publik, Nugroho Adi. Menurutnya, meskipun tujuan program ini baik, pelaksanaannya perlu mempertimbangkan kondisi lokal.
“Car free day pertama kali dikampanyekan di Belanda tahun 1956, untuk mengurangi emisi dan kemacetan. Tapi kalau di Kota Blitar, apakah memang butuh program ini? Semua kembali ke pemimpin daerah, apakah kebijakan ini benar-benar bermanfaat untuk masyarakat?” tutur lulusan Universitas Brawijaya tersebut.
Ia juga menambahkan bahwa penerapan kebijakan yang justru merugikan masyarakat kecil perlu dikaji ulang.
“Kalau menurut kami, kebijakan itu baik kalau dampaknya juga baik. Tapi kalau justru merugikan banyak orang, ya harus dikaji ulang,” tandasnya.
Tak hanya masyarakat, beberapa aparatur sipil negara (ASN) pun mengeluhkan kewajiban ikut CFD.
“Haduh, kalau kami malah diwajibkan ikut sih Mas. Mungkin biar rame ya, tapi jujur saja, saya punya agenda keluarga yang cuma bisa saya lakukan di hari Minggu,” ujar salah satu ASN yang enggan disebut namanya.
Dengan berbagai keluhan ini, masyarakat berharap agar Pemerintah Kota Blitar dapat meninjau kembali penerapan car free day, mencari solusi yang lebih inklusif dan tidak memberatkan pihak manapun, terutama pelaku usaha kecil yang bergantung pada akses ke pasar di hari libur.(marlin)