BLITAR,beritaantara2.online Wali Kota Blitar, Syauqul Muhibbin, angkat bicara terkait aksi bentang poster yang dilakukan empat mahasiswa saat rombongan Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka melintas di Kota Blitar, Rabu (18/6/2025). Aksi yang dilakukan oleh kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Blitar itu menuai respons keras dari Ibin.
Sebagai mantan aktivis, Ibin mengaku kecewa dan merasa malu dengan cara penyampaian aspirasi tersebut. “Saya dulu juga aktivis, jadi paham. Tapi menyampaikan kritik tidak harus dengan cara seperti itu. Saya anggap itu lebih mirip cari perhatian,” ujarnya di Kantor Wali Kota, Kamis (19/6/2025).
Empat mahasiswa membentangkan poster bertuliskan kritik terhadap Wapres Gibran, di antaranya: “Omon-omon 19 Juta Lapangan Kerja”, “Siapa Percaya Pengangkang Konstitusi”, dan “Dinasti Tiada Henti”. Aksi itu dilakukan saat iring-iringan kendaraan Gibran melintasi Jalan Kalimantan.
Menurut Ibin, momen kedatangan Gibran ke Blitar seharusnya disambut baik karena membawa peluang pembangunan. Ia menyebut telah menyerahkan proposal pengembangan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) ke Gibran dengan nilai ratusan miliar rupiah. “Dan Alhamdulillah, proposal itu diterima,” kata Ibin.
Tak hanya itu, Gibran juga menyerahkan bantuan mesin produksi untuk sentra kerajinan jimbe senilai ratusan juta rupiah. “Kami tentu berharap tamu negara yang datang membawa manfaat seperti ini bisa dihormati, bukan disambut dengan aksi yang justru mengesampingkan etika,” imbuhnya.
Meski sempat diringkus oleh personel Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres), tiga dari empat mahasiswa akhirnya diajak makan siang bersama rombongan Wapres. Ibin menyebut momen itu sebagai bentuk keterbukaan Gibran dalam menerima aspirasi. “Saya lihat sendiri, mereka dijamu dengan baik, diajak ngobrol, dan aspirasinya diterima,” ujarnya.
Sebelumnya, video berdurasi sekitar 10 detik yang beredar di media sosial menunjukkan momen saat Paspampres menangkap dua mahasiswa dan menyita poster. Kepolisian menyatakan bahwa tindakan tersebut merupakan upaya pengamanan dan pengalihan agar tidak mengganggu protokol kunjungan.
Meski demikian, aksi para mahasiswa ini tetap menimbulkan perdebatan di masyarakat, antara soal hak menyampaikan pendapat di ruang publik dan bagaimana etika menyampaikannya.(marlin)