Blitar , beritaantara2.online Di tengah peringatan Hari Tani Nasional (HTN) ke-65 yang seharusnya menjadi momen penuh harapan bagi petani di seluruh Indonesia, suasana di Kota Blitar justru memanas oleh gelombang aksi dari ratusan mahasiswa dan petani. Mereka turun ke jalan, menuntut perubahan nyata atas kondisi agraria yang selama ini dianggap masih jauh dari keadilan dan kesejahteraan.
Rabu pagi ini, halaman depan Kantor Pemerintah Kabupaten Blitar menjadi saksi bisu dari sebuah perjuangan yang tak lekang oleh waktu: menuntut reforma agraria sejati demi masa depan petani Indonesia. Aliansi Konsolidasi Pembaruan Agraria (KPA) Blitar yang terdiri dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Blitar, Paguyuban Petani Aryo Blitar (PPAH), dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Islam Balitar (UNISBA) hadir dengan semangat membara, membawakan tuntutan yang bukan sekadar seruan kosong.
Koordinator aksi, Kinan, membuka orasinya dengan menyentil fakta pahit yang selama ini luput dari perhatian publik luas. “Sudah 65 tahun Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) disahkan, tetapi bagaimana nasib petani? Mereka masih bergumul dalam kemiskinan, sering kehilangan tanah, dan terus dijajah oleh sistem yang tidak berpihak. Ditambah lagi dengan UU Cipta Kerja yang semakin mengerdilkan hak mereka,” katanya dengan suara yang penuh semangat dan nada tegas.
Kinan mengingatkan, hari ini harus menjadi titik balik, bukan sekadar seremoni rutin. “Hari Tani Nasional harusnya menjadi momentum evaluasi dan perbaikan nyata, bukan menjadi panggung retorika pemerintah yang hanya mengumbar janji kosong,” ujarnya.
Dalam aksinya, aliansi menyampaikan sembilan tuntutan yang mereka nilai penting untuk disampaikan langsung kepada pemerintah daerah dan pusat. Berikut ini beberapa tuntutan utama mereka:
Pembentukan Badan Pelaksana Reforma Agraria yang Transparan dan Efektif: Aliansi menilai belum ada institusi yang benar-benar fokus dan mampu mengawal reforma agraria dengan sungguh-sungguh.
Pencabutan Undang-Undang Cipta Kerja: UU yang dianggap memperparah marginalisasi petani dan membuka celah bagi praktek mafia tanah.
Pengesahan Rancangan Undang-Undang Reforma Agraria: Untuk menjadi payung hukum yang kuat melindungi hak-hak petani dan menjamin keadilan agraria.
Penyelesaian Konflik Agraria di Kabupaten Blitar: Khususnya kasus-kasus yang belum terselesaikan di Desa Gendadungan, Sumberagung, dan wilayah Kecamatan Doko yang menjadi lokasi prioritas reforma agraria.
Tindak Lanjut Surat Resmi dari Kementerian Dalam Negeri dan Kantor Staf Presiden: Surat-surat yang selama ini dianggap “mandek” tanpa ada penyelesaian konkrit.
Perlindungan terhadap Petani Korban Konflik Agraria: Agar tidak menjadi korban intimidasi, kekerasan, dan kriminalisasi.
Evaluasi Ulang Kebijakan Redistribusi Tanah di Eks Perkebunan Karangnongko: Agar tanah yang seharusnya untuk petani tidak dikuasai oleh segelintir pihak.
Kinan mengakhiri orasinya dengan kalimat penuh semangat yang membakar jiwa para peserta aksi: “Tanah adalah nyawa bagi petani, bukan barang dagangan mafia tanah dan penguasa. Reforma agraria sejati adalah kunci kedaulatan bangsa dan masa depan yang berkeadilan.
Aksi damai ini juga diwarnai dengan hadirnya Bupati Blitar, Rijanto, yang menemui massa aksi. Dalam dialog singkat, Rijanto menyatakan komitmennya untuk menampung aspirasi dan mengupayakan penyelesaian masalah agraria sesuai kewenangannya.
“Saya menghargai keberanian dan kepedulian para petani dan mahasiswa yang hari ini menyuarakan aspirasi mereka. Pemerintah Kabupaten Blitar berjanji akan menindaklanjuti persoalan agraria, tentunya dengan keterbatasan yang ada, tapi kami bertekad untuk berbuat terbaik demi kesejahteraan petani yang merupakan tulang punggung bangsa,” ujar Rijanto.
Lebih lanjut ia menegaskan bahwa penyelesaian masalah agraria membutuhkan kolaborasi semua pihak, dari pemerintah pusat, daerah, hingga masyarakat sipil.
“Reforma agraria bukan tugas satu pihak saja. Sinergi dan komunika